Kamis, 17 Juni 2010

40. A Man Who Knows The Truth

Malam yang dingin itu seorang laki-laki yang menggunakan mantel hangat berjalan sendirian di Bandara Soekarno Hatta. Ia adalah ayah Irham yang baru mendarat jam 09.30 malam dari Bali. Ayah Irham terlihat terburu-buru sambil menarik kopernya. Ia mendapatkan kabar dari Irham bahwa ibunya telah diculik seseorang dan ia akan segera menyusul Kapten Aryo dan Irham yang menunggunya di Polres Jakarta Pusat

Ayah Irham terlihat mencari taxi di depan bandara, ia melihat mobil-mobil yang ada di sekitarnya dan berharap ada taxi yang masih kosong. Akhirnya ada satu taxi yang menghampirinya, lalu tanpa ragu ia pun masuk ke dalam taxi itu.

"pak ke Polres Jakarta Pusat, cepat ya,"

Supir itu hanya terdiam dan langsung mengunci semua pintu mobil. Ia melihat ke belakang dengan senyuman kecil lalu ia membunuh ayah Irham dengan pistol kedap suaranya di malam yang dingin itu. Laki-laki pembunuh itu tersenyum dengan puas dan langsung menjalankan mobil taxinya dengan cepat




Jam 11 malam di Polres Jakarta Pusat

Irham yang sedang menunggu ayahnya sangat cemas malam itu. Ia berjalan mondar-mandir dan tidak bisa tenang di kantor polisi. Ia terus melihat jam dan mengeluh sendirian karena ayahnya tak kunjung datang. Kapten Aryo pun hanya bisa terdiam sambil berbicara seadanya kepada rekan-rekan polisinya.

"kenapa sampai jam segini belum datang?" ucap Irham
"apa mungkin macet?" ucap salah satu polisi
"masa sih udah malam gini?" ucap polisi lain
"iya itu tidak mungkin, jalanan pasti lancar tapi kenapa belum juga datang? apa mungkin taxinya mogok atau bannya pecah?" ucap Kapten Aryo

"saya rasa nggak kapten.....karena ponsel ayah pun tidak dijawab kalau saya telepon dan itu tidak mungkin terjadi karena ayah bilang ia akan selalu menunggu telepon dari saya, saya jadi berperasaan tidak enak" ucap Irham
"sekarang sudah jam 11 dan 1 jam lagi kita harus segera ke museum itu kan," ucap Kapten Aryo

Ponsel Irham pun berbunyi

"halo! pah dimana?!!"
"halo,"
"ya halo!! pah?!"

"ayahmu sudah mati ,"
"apa? siapa ini?!"
"keluarlah dari polres dan berjalan ke jalan di sebelah kanan polres menuju ujung jalan yang gelap, anda akan menemukan mayat ayah anda di dalam taxi yang parkir di pinggir jalan
"apa?! siapa ini!"

Telepon itu pun terputus


Tanpa pikir panjang Irham pun langsung berlari keluar dari polres. Kapten Aryo dan rekan-rekannya pun kaget ketika Irham bereaksi seperti itu. Di luar polres, Irham melihat mobil taxi yang parkir di bawah pohon rindang di ujung jalan yang gelap. Ia berlari cepat ke taxi itu dan membuka pintu mobil taxi itu dan menemukan mayat ayahnya yang terbujur kaku di jok bagian belakang. Irham berteriak kencang memanggil ayahnya tetapi semua itu percuma karena ayahnya telah meninggal dunia. Irham pun menangis dan melihat tulisan di kaca mobil taxi itu.

Semua keluargamu akan mati. Berikutnya adalah ibumu tepat di jam 12.00

Irham langsung melihat jamnya dan ternyata sudah pukul 11.30 malam. Ia pun berlari untuk segera memberitahukan bahwa Kapten Aryo dan timnya harus segera pergi ke Museum Fatahillah. Kapten Aryo pun telah mendengar penjelasan Irham mengenai ayahnya yang telah meninggal dan ia menyatakan turut prihatin dengan keadaan itu. Ia melihat Irham hanya terdiam dan seperti kehilangan gairah. Tidak ada lagi air mata yang turun dari matanya karena Irham sudah muak dengan tangisan dan yang ada di pikirannya adalah bagaimana menyelamatkan ibu dan kakaknya Joy.

Kapten Aryo pun memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa mobil taxi itu dan membawa mayat ayah Irham untuk di otopsi. Beberapa polisi pun terlihat membawa peralatan mereka dan memeriksa taxi itu. Kapten Aryo pun terlihat mengajak Irham untuk masuk ke dalam kantor untuk menenangkan diri.

Polisi itu memeriksa mayat ayah Irham dan mencoba untuk memindahkannya dari taxi itu tapi ternyata mayat itu terikat dengan kawat pemicu bom yang ada di mobil itu dan bom itu pun meledak dan menghancurkan dua orang polisi itu bersama dengan mobil taxi. Ledakkan kuat jelas terdengar di malam itu. Semua polisi itu pun keluar dari Polres dan Irham hanya terdiam dan sangat takut malam itu. Ia benar-benar takut dan putus asa. Ia seperti sudah kehilangan keberaniannya malam itu karena pelaku pembunuhan ini benar-benar kejam. Irham dan semua polisi itu mematung malam itu dan mereka semua baru saja menjadi saksi dari kekejaman seorang pembunuh berdarah dingin bernama Bimo





"hahahha......haaahahahahha!!!" gw puas!!! gw puas!!! mampus!! mampus lo ham!!" ucap Bimo

Bimo yang sudah sampai di tempat persembunyiannya sedang mabuk sambil merayakan keberhasilannya membunuh ayah Irham. Bimo tidak henti-hentinya tertawa dengan puas malam itu sambil meminum minuman keras. Ia menjadi lebih gila akhir-akhir ini karena ia tertekan dengan keadaan adiknya Karin yang sekarat. Semua kekesalannya itu pun dilampiaskannya dengan melakukan tindakan yang kejam ini. Bimo sekarang sedang menunggu keempat polisi suruhannya untuk menangkap Irham dan membunuh Joy serta ibunya.




Jam 12 malam, Museum Fatahillah

Seorang polisi anggota S.E.F sedang mengendap-endap malam itu. Ia bersembunyi di balik tembok sambil memerintahkan rekan setimnya untuk bergerak perlahan. Kapten Aryo terlihat bergerak perlahan malam itu bersama rekan-rekannya. Ia begitu konsentrasi untuk menyelamatkan ibu Irham yang diculik oleh Bimo. 10 anggota S.E.F itu menjalankan formasi yang sudah mereka rencanakan di kantor polisi. Satu per satu dari mereka terlihat masuk ke pintu depan Museum Fatahillah yang sepi dan gelap itu. Tidak ada seorang pun di dalam museum itu dan para anggota S.E.F mulai menyebar untuk melakukan pencarian. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan isyarat tangan dan tanpa membuat suara sedikit pun. Lampu di senjata mereka pun menerangi sudut-sudut museum yang gelap itu.

Kapten Aryo terlihat bergerak dengan 1 orang temannya. Ia begitu waspada dan memegang senjatanya dengan sigap sambil berjalan perlahan. Ia membuka setiap pintu yang ia temui di lorong museum dan memeriksa ruangan yang ada di dalamnya. Namun tidak ada tanda-tanda dari ibu Irham dan yang ada hanya benda-benda museum.

Di tengah keheningan malam itu, tiba-tiba terdengar teriakan keras dari kejauhan. Kapten Aryo pun kaget dan menyalakan radionya

"ada apa!! apa yang terjadi! tim 2 masuk! apa yang terjadi!" ucap kapten Aryo

Kapten Aryo terus menanyakan keadaan dari radio itu namun tidak ada jawaban.

"disini tim 2! ada apa disana?!" ucap Kapten aryo
"Feri hilang! tadi dia dibelakang saya! tapi sekarang sudah tidak ada!" ucap seorang anggota S.E.F dari radio
"apa? apa maksutmu?! dimana kalian?!" ucap Kapten Aryo
"saya berada....aaaagh!!"

"hei!! ada apa! masuk tim 3!!! apa yang terjadi!!"

Tim 3 pun pun hilang dan tidak menjawab lagi

"kita kehilangan respon dari mereka, ada yang tidak beres disini! kita harus waspada!" ucap Kapten Aryo




Sementara itu di suatu tempat di museum Fatahillah, seorang laki-laki berjalan dengan pasti tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Terkadang sinar bulan yang datang dari jendela besar membuat dirinya terlihat berjalan di lorong museum. Laki-laki itu mendekati seorang anggota S.E.F dari belakang dan langsung menusukkan pisau tajamnya tepat di belakang punggung anggota S.E.F itu hingga ia langsung tewas. Mayatnya pun langsung disembunyikan di dalam ruangan museum itu.

Rekan anggota S.E.F yang telah tewas itu pun bingung karena temannya menghilang. Ia berjalan mendekati sebuah pintu dan melihat ada darah yang tercecer di lantai. Ia mengusap darah itu dengan tangannya dan melihatnya. Ia yakin bahwa ini adalah darah temannya. Ia pun berdiri kembali dan langsung dibunuh oleh laki-laki misterius yang telah berada di belakangnya. Laki-laki misterius itu menusukkan pisau tajamnya langsung ke punggung anggota S.E.F yang langsung tewas itu.


Seseorang anggota tim 4 baru saja melihat anggota S.E.F yang mati dibunuh oleh laki-laki misterius, lalu ia pun menembak laki-laki itu

"diam ditempat! jangan lari!"

Rentetan senjata terdengar malam itu, laki-laki misterius yang tidak lain adalah Balin langsung berlari dengan cepat menuju ujung lorong museum. 2 anggota S.E.F pun mengejarnya

"disini tim 4 masuk! target ditemukan!! kami butuh bantuan!"

Balin bersembunyi di balik tembok dan anggota S.E.F terus mendesaknya dengan tembakan. Anggota S.E.F memerintahkan Balin untuk segera menyerah. Balin membalas tembakan para anggota S.E.F dengan satu tangannya dan tembakan itu mengenai pundak salah satu anggota tim 4 yang langsung terjatuh ke lantai.

"siapa orang ini! dia sangat tangguh!" ucap anggota S.E.F tim 4

Balin keluar dari persembunyiannya dan menembak anggota lain dari tim 4. Ia menembak kedua kakinya hingga terjatuh. Tangan mereka pun ditembak hingga tidak bisa menembak lagi. Balin telah berhasil melumpuhkan tim 4 S.E.F dan ia pun berjalan mendekati kedua polisi yang telah terbaring di lantai itu

"siapa? siapa anda?" ucap anggota tim 4

Wajah Balin muncul dari balik bayangan yang gelap. Wajah dingin yang begitu terkenal di kepolisian terutama anggota S.E.F yang tangguh itu

"anda.....anda Balin kan? polisi terbaik yang telah berhasil menjalankan berbagai misi sebagai anggota S.E.F dan menjadi salah satu pemimpin selain Kapten Aryo,"

"tepat sekali, gw adalah atasan lo," ucap Balin dingin
"kenapa anda mengkhianati kepolisian? apa yang anda pikirkan!!"
"gw muak dengan kepolisian, gw butuh uang lebih," ucap Balin
"tapi anda adalah polisi terbaik kami!! kami mohon sadarlah!"

"gw lebih suka jadi penjahat, gw udah bosan jadi polisi karena peraturan mereka yang membatasi bakat gw ini,"
"jangan bunuh kami, kami mohon, keluarga kami menunggu kami di rumah,"

"sori.....gw selalu menyelesaikan apa yang udah gw kerjain"

Balin pun menembak kedua polisi itu hingga tewas dan langsung meninggalkan tempat itu


Kapten Aryo dan tim 5 S.E.F pun tiba dan mereka melihat kedua mayat rekannya yang telah dibunuh Balin. Mereka terlambat beberapa detik saja dan mereka terlihat menyesal. Kapten Aryo memeriksa mayat anggota S.E.F itu.

"siapa yang melakukan ini, saya yakin ia bukan orang sembarangan, ia terlalu tangguh sampai bisa membunuh 6 anggota S.E.F seorang diri. " ucap Kapten Aryo
"ya saya setuju, dia pasti sangat terlatih," ucap anggota S.E.F lain
"ayo kita lanjutkan misi! kita harus cepat!"
"baiklah!" ucap Kapten Aryo

Keempat polisi yang tersisa itu pun bergerak di bawah bayangan gelap Museum Fatahillah di malam hari. Ia tidak tahu siapa yang telah membunuh rekan-rekan mereka sampai membuat diri mereka sendiri pun takut. Mereka tidak tahu bahwa rekan mereka sendirilah yang membunuh anggota-anggota S.E.F itu. Balin adalah anggota S.E.F terbaik yang sangat berbakat di kepolisian. Walaupun masih muda, ia telah dipercaya untuk memimpin salah satu squad S.E.F yang berjumlah 30 orang. Balin juga adalah polisi yang telah mendapatkan banyak penghargaan kepolisian karena berhasil menjalankan misi dengan sangat baik.

Kapten Aryo berjalan menuju bagian belakang museum yang terdapat meriam berwarna hitam yang terkenal itu. Ia melihat-lihat keadaan di sekitar bersama rekan-rekannya.

"lihat disana!" ucap salah satu anggota S.E.F

Seorang anggota S.E.F melihat rekannya sedang terbaring tak berdaya di ujung taman. Ia bergerak cepat mendekat karena melihatnya masih hidup.

"anda tidak apa-apa?" ucap anggota S.E.F

Rekannya telah terbaring ditanah dengan mulut ditutup lakban dan tangan terikat tali. Anggota S.E.F itu ingin mengatakan sesuatu tapi perkataannya menjadi tidak jelas karena mulutnya ditutup lakban.

"anda bicara apa? biar saya buka lakbannya!" ucap anggota S.E.F

Setelah lakban itu dibuka, perkataan anggota S.E.F itu pun menjadi jelas

"jangan mendekat!! saya telah terpasang bom aktif!"

Ledakkan cukup kuat terjadi di malam itu, 3 anggota S.E.F tewas terkena ledakkan yang dibuat oleh Aruna. Para anggota S.E.F itu telah termakan umpan yang dipasang oleh Aruna dan anggota S.E.F pun sekarang tinggal 3 orang.

Kapten Aryo dan rekannya yang tidak terlalu jauh dari ledakkan terpental cukup jauh hingga terjatuh ke tanah. Mereka sadar bahwa 3 rekan mereka telah tewas malam itu. Mereka pun tidak bisa apa-apa ketika tahu bahwa Balin dan teman-temannya telah menodong mereka dengan pistol. Mereka pun dibawa ke sebuah ruangan.

Kapten Aryo dan rekan-rekannya diikatkan di sebuah kursi dan disiksa oleh Balin, Aruna dan Edo yang memakai topeng

"siapa kalian sebenarnya?" ucap Kapten Aryo yang terluka parah
"apakah anda benar-benar ingin tahu?"
"ya, buka topeng hitam itu,"

Aruna, Balin dan Edo membuka topeng mereka

"kalian? Aruna, Balin, Edo? apa maksutnya ini?" ucap Kapten Aryo
"maafkan kami senior," ucap Aruna
"Edo? kenapa anda mengkhianati saya?" ucap Kapten Aryo
"maafkan saya kapten, tapi saya perlu uang itu untuk berobat anak saya,"
"bagaimana denganmu Balin? apa motivasimu mengkhianati kami?"
"ya saya juga perlu uang itu untuk biaya rumah sakit ayah saya yang kritis karena penyakit stroke" ucap Balin
"lalu bagaimana denganmu Aruna?"
"hutang......hutang saya terlalu banyak terhadap pihak bank dan saya harus segera membayarnya, saya tidak mau dipenjara, maafkan saya," ucap Aruna

"kenapa kalian memilih jalan ini? mengkhianati kepolisian!! dan menjadi budak Bimo!!" ucap Kapten Aryo keras
"tidak ada pilihan lain, karena tidak ada yang bisa membantu kami, hanya Bimo yang bisa memberikan kami harapan," ucap Aruna
"tapi bagaimana kalau dia menipu anda semua?"
"dia tidak akan seperti itu karena uang awal telah ia bayar, lagipula dia akan membayar berapapun bagi orang yang bisa membantunya membunuh keluarga Irham," ucap Aruna

"dimana ibu Irham kalian sembunyikan?"
"kami tidak akan memberi tahu anda, tapi yang jelas ia belum mati,"
"baiklah, lalu apa yang anda ingin lakukan?"
"membunuh anda," ucap Aruna
"silahkan bunuh saja saya agar misi kalian berhasil dan bisa mendapatkan uang itu,"

Balin bersiap menembak Kapten Aryo, pistolnya sudah mengarah ke kepalanya dan satu peluru akan bisa membunuhnya.

"sebelum anda mati saya ingin memberikan penghormatan terakhir kepada anda kapten....kalau bukan demi uang itu saya tidak akan membunuh anda karena andalah polisi terbaik yang dimiliki kepolisian yang begitu setia dan menjalankan misi dengan sepenuh hati, ayah anda Kapten Rendra pun adalah polisi yang terhormat dan menjadi panutan bagi kami semua," ucap Balin

Kapten Aryo hanya tersenyum kecil dengan luka-luka di wajahnya

"bentar lin!! jangan tembak!" ucap Edo sambil mengintip dari balik jendela
"apa maksut lo?" ucap Balin
"lihat di luar, polisi lain sudah datang, mereka menuju kesini! cepat kita harus pergi!"
"brengsek!"

Aruna, Balin dan Edo langsung berlari cepat keluar dari jendela samping dan para polisi itu menembak mereka yang terlihat hendak kabur melalui jendela. Aruna, Balin dan Edo pun berlari dengan cepat untuk keluar dari museum itu melalui pintu belakang. Mereka bertiga pun berhasil kabur dan hilang begitu saja. Para polisi itu langsung membuka ikatan Kapten Aryo dan kedua anggota S.E.F lainnya yang masih hidup

"apa yang terjadi?!" ucap seorang anggota polisi
"mereka......mereka adalah polisi yang berkhianat," ucap Kapten Aryo
"apa maksut anda?"
"ya ketiga orang itu adalah Aruna, Balin dan Edo polisi terbaik kita,"




Jam 01.30 pagi di sebuah atap gedung

Leo sedang mengawasi sebuah kamar hotel yang berada di pusat Kota Jakarta. Sekarang ia berada di atap gedung berlantai 9 untuk membunuh seorang perempuan muda yang cantik. Seperti biasa, ia selalu memakan coklat sambil melakukan tugasnya. Sudah lama Leo menyukai coklat batangan dan menjadi teman setia untuk menemaninya disaat bertugas. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Leo melihat perempuan itu menggunakan baju tidurnya dan sedang menggunakan obat wajahnya sebelum tidur. Sepertinya perempuan itu baru saja selesai mandi setelah pulang beraktifitas dan akan beristirahat.

Leo memakan coklatnya dan membidik targetnya tepat di kepala. Ia telah mendapatkan tembakan yang sempurna dan akan menembak. Namun, perempuan itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu hotelnya. Seorang laki-laki tinggi besar langsung memaksa masuk dan berjalan menuju jendela hotel. Ia menutup tirai di jendela itu dan memperingatkan perempuan itu adalah sasaran pembunuhan. Leo melihat jendela kamar yang telah tertutup tirai itu dan ia memakan coklatnya kembali. Ia terlihat santai dan pergi meninggalkan tempat itu.


"anda bernama Joy? kakak tiri dari Irham bukan?" ucap laki-laki misterius itu
"bagaimana anda tahu? lalu apa yang anda lakukan disini?" ucap Joy
"anda adalah sasaran pembunuhan Bimo, lalu ibu dan adik anda pun demikian,"
"apa? apa yang terjadi dengan mereka?"
"saya tidak tahu, tapi yang jelas Bimo mengincar kalian semua karena dendam masa lalunya yang sebenarnya adalah kesalahpahaman,"
"salah paham? bagaimana anda bisa tahu semua ini?"
"karena saya sebenarnya adalah pembunuh ayah Bimo dan satu-satunya saksi hidup kejadian pembunuhan 1 tahun lalu itu,"

Malam itu laki-laki misterius datang menyelamatkan Joy dari pembunuhan. Laki-laki itu adalah saksi kunci yang telah lama hilang dan datang kembali untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Suatu misteri yang belum pernah diketahui oleh siapapun akan terkuak malam ini

Rabu, 09 Juni 2010

39. Fake Angels

Di siang itu langit berwarna kelabu dan matahari tidak terlihat bersinar terang seperti biasanya. Terkadang terdengar sang kilat yang bergemuruh kecil sambil memperlihatkan sinarnya. Hujan rintik-rintik pun turun perlahan membasahi lapangan dan taman di Sekolah Cemara.

Irham menatap ke arah jendela kelasnya yang penuh dengan air hujan dan ia terdiam. Di dalam hatinya ia berbicara sendiri mengapa hujan selalu datang akhir-akhir ini. Irham menatap terus ke arah kaca itu dan entah kenapa di jendela itu terdapat wajah Karin yang tidak pernah bisa dilupakannya. Irham pun membuang pandangannya dan melihat ke arah buku tulis di atas mejanya. Sebetulnya Irham masih menyayangi Karin tetapi kebencian yang dimilikinya terhadap Karin lebih besar karena Karin telah menipunya dan mencoba membunuh dirinya dan keluarganya. Apapun yang terjadi Irham akan selalu melindungi keluarganya walaupun itu dibayar dengan nyawanya karena Irham sangat mencintai keluarganya.



Sementara itu di suatu tempat, Bimo terlihat menangis siang itu, langit berwarna kelabu gelap di siang itu seperti mencerminkan suasana hatinya yang galau. Ia menangis tersedu sendirian di ruang tunggu rumah sakit tempat Karin dirawat. Ia baru saja mendengar pernyataan seorang dokter tentang keadaan Karin yang kritis. Dokter itu baru saja memberitahukan Bimo bahwa umur Karin tidak akan lama dan kurang dari 2 minggu lagi karena penyakit kronis yang dideritanya. Sambil menangis, Bimo berbisik sendirian

"kenapa rin....kenapa kamu gak bilang dari dulu kalau kamu kanker....kenapa? sekarang semua sudah terlambat...." ucap Bimo

Bimo berdiri dari duduknya, sambil menguatkan hatinya ia berjalan pelan ke depan pintu ruangan tempat Karin dirawat. Dari kaca di pintu itu, Bimo melihat Karin yang berbalut infus di tangan dan hidungnya. Wajah Karin begitu pucat dan matanya menutup rapat seolah ia tidak akan pernah terbangun lagi. Setelah sejenak melihat Karin, Bimo memalingkan mukanya dan berjalan dengan pasti meninggalkan Karin dan pergi entah kemana. Bimo tidak punya waktu banyak, ia harus segera menjalankan rencana untuk menghabisi Irham dan keluarganya



Siang berganti sore dan bel di sekolah Irham pun berbunyi tanda sekolah telah usai. Para murid-murid SMA Cemara terlihat mulai keluar dari kelasnya masing-masing setelah belajar seharian penuh. Irham, Jun dan Kyna terlihat berjalan bersama di samping taman sekolah.

"akhir-akhir ini hujan terus ya...bener ga menurut lo?" ucap Kyna
"iya, ujan terus...mendung terus...bisa banjir lama-lama," ucap Jun
"iya, dari tadi pagi mendung terus ya," ucap Irham
"tapi walaupun hujan, kita jadi belajar bareng kan?" ucap Kyna
"iyalah, harus itu, 1 bulan lagi ujian akhir... gw perlu banget nih belajar sama lo Kyn, lo kan pinter banget," ucap Irham
"bener lo ham!! bener banget!! Kyna tuh cewe terpinter di SMA Cemara!! cantik juga lagi," ucap Jun agak merayu berlebihan

"masa sih? masih banyak yang lebih pinter dari gw di sekolah ini," ucap Kyna
"tapi mereka gak ramah kaya lo Kyn," ucap Jun
"hmm...gitu ya?" ucap Kyna

Irham menabrakkan tubuhnya ke Jun dengan pelan sambil mengisyaratkan sesuatu
"bisa aja lo Jun," ucap Irham cengengesan
"namanya juga usaha," ucap Jun pelan

Tanpa sadar, Jun menginjak genangan air yang berada di pinggir jalan. Ia kaget dan melihat sepatunya yang kotor terkena air itu.

"yaaaah.....siaaal......gw gak ngeliat lagi, elo sih ham dorong-dorong gw," ucap Jun
"yah elo, mana gw tau ada becek kaya gitu, udah tenang aja ntar dibersihin di rumah gw,"

"kenapa lo Jun?" ucap Kyna mendekati Jun
"ini celana sama sepatu gw kotor," ucap Jun
"ooh gitu aja, nih pake kain lap gw aja," ucap Kyna
"wah thank you ya, bener kan kata gw, Kyna tuh baik banget, makasih ya Kyna," ucap Jun senang
"udah deh, jangan geer gitu, kita kan temen,"

Irham tertawa menyindir Jun dan melihat wajah Jun yang berubah drastis menjadi ekspresi yang aneh. Kyna dan Irham pun tertawa melihat Jun yang berekspresi aneh itu dan mereka larut dalam candaan sambil memperlihatkan eratnya persahabatan mereka.





Sore yang mendung itu seorang laki-laki misterius berdiri tegak di depan rumah seseorang. Ia terlihat begitu mencurigakan dengan gerak-geriknya, lalu ia mengintip sebuah rumah dari luar dan masuk ke dalam rumah itu tanpa ragu. Ia mengintip dari balik jendela rumah dan berjalan ke pintu rumah itu. Ia membuka pintu rumah itu perlahan yang ternyata tidak terkunci. Ia masuk ke dalam rumah itu dan mendengar suara perempuan yang bersuara memanggil seseorang. Laki-laki misterius itu menghiraukan suara perempuan itu dan terus berjalan menuju arah suara itu berasal.

Laki-laki itu melihat seorang perempuan yang berdiri di dapur dan sedang menyiapkan bumbu untuk memasak.

"ham kamu sudah pulang? bagaimana sekolah kamu? dari tadi mamah panggil kamu diam saja, kamu sakit?"

Laki-laki itu berjalan mendekat dan langsung menculik ibu Irham yang langsung pingsan karena diberikan obat bius. Laki-laki itu membawa ibu Irham pergi entah kemana tetapi yang jelas laki-laki ini memiliki niat yang sangat buruk.


Tidak lama setelah kejadian penculikan itu, Irham yang baru sampai rumahnya dengan Jun dan Kyna terlihat sedikit curiga karena pintu rumah yang terbuka. Ia bergegas masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan di dalam. Jun dan Kyna pun mengikuti Irham yang pergi begitu saja meninggalkan mereka. Di dalam rumah, Irham menemukan kejanggalan karena ia tidak bisa menemukan ibunya di setiap ruangan di rumahnya. Irham pun panik dan perasaan takut mulai muncul yang disertai dengan prasangka-prasangka buruk mengenai keadaan ibunya. Kyna yang berjalan di dapur menemukan foto aneh tergeletak di atas meja. Kyna mengambil foto itu dan melihat baik-baik foto itu.

"ham!! lihat ini!" ucap Kyna

Irham langsung menghampiri Kyna dan melihat foto yang dipegang Kyna. Ia mengambil foto itu dari tangan Kyna dan melihat baik-baik foto itu.

"ini....ini kan gambar depan museum Fatahillah, liat deh....bener kan?" ucap Irham
"iya gak salah lagi! ini emang museum Fatahillah!" ucap Kyna yakin

Irham membalik foto itu dan dibelakangnya terdapat tulisan

Jam 12 malam, ruang penjara bawah tanah


Animus bertopeng putih

Irham sangat kesal ketika melihat kata-kata animus di balik foto itu dan ia tahu Bimo adalah orang dibalik penculikan ini. Irham kali ini tidak akan mudah percaya dengan pesan yang dikirim Bimo tetapi ia akan tetap pergi ke Museum Fatahillah besok malam untuk mengikuti permainan Bimo








Keesokan harinya jam 9 malam, tempat persembunyian Bimo

Bimo terlihat duduk santai sambil meminum secangkir gelas anggur. Tidak jauh darinya terlihat ibu Irham yang diikat ditempat duduk dengan mulut dan matanya yang diikatkan kain hitam. Ibu Irham tidak bergeming dan ia masih pingsan dan terlihat memprihatinkan.

Seorang laki-laki dengan paras tidak terlalu tinggi dan dengan badan yang tegap menghampiri Bimo. Laki-laki ini menggunakan Jaket kulit hitam, kaos putih dan celana jeans hitam. Laki-laki ini adalah pembunuh bayaran yang sangat mahir menggunakan senjata. Ia sebenarnya adalah anggota kepolisian sama seperti Kapten Aryo

"apa kabar Ed?" ucap Bimo
"jadi bagaimana? malam ini jam 12 kan," ucap perwira Edo
"ya seperti yang udah gw bilang, lo udah siapin berapa orang?" ucap Bimo
"saya sudah membawa 3 rekan terbaik saya, mereka adalah yang paling hebat dengan keahlian masing-masing,"
"mana gw pengen liat orang-orangnya," ucap Bimo

Tiga orang itu pun muncul dan memperkenalkan diri mereka. Satu diantara mereka bernama Leo yang ahli sebagai penembak jitu, lalu ada juga Balin yang sangat mahir dengan segala jenis tembakan, sangat menguasai ilmu bela diri. Yang terakhir adalah Aruna, ia juga hebat dalam menembak dan ahli menyamar. Aruna hebat dalam taktik dan strategi.

Leo adalah orang yang sangat pendiam dan ia masih cukup muda dengan badan yang berbentuk dan berjambang tebal dengan rambut pendek yang berwarna hitam pekat. Balin adalah orang yang sangat agresif dan tempramental. Ia selalu marah dan tidak pernah tenang sedangkan Aruna adalah orang yang sangat cerdas. Ia orang yang memiliki tingkat intelejensi tinggi dan pintar melakukan tipu daya serta manipulasi

"bagaimana dengan uang yang anda janjikan? setelah saya berhasil membunuh Kapten Aryo dan menculik Bimo dan kakaknya, saya akan mendapatkannya kan?" ucap Edo
"tentu saja, uang 100 juta bukan masalah bagi gw dan semua itu akan gw kasih ke lo berempat kalau lo berhasil menjalankan tugas lo, tuh ambil di koper gw ada 12 juta buat uang muka, lo tinggal bagi-bagi aja,"

"gaya lo belagu banget, lo tuh baru anak SMA, jangan sok kaya deh lo, gw abisin baru tau lo," ucap Balin
"gw gak takut sama lo, gw gak takut sama siapa pun," ucap Bimo sambil mengisi pistolnya dengan peluru
"anjrit gaya abis nih anak, gw abisin aja apa?" ucap Balin sambil melihat ke arah Aruna
"tenang lin, lo harus perhitungkan konsekuensinya kalo lo bunuh dia," ucap Aruna

"konsekuensi? tai!!" ucap Balin
Dengan sekejap Balin mengayunkan pukulannya kepada Bimo lalu suara tembakan keras terdengar berdesing di ruangan itu. Bimo menembakkan pistolnya tepat di sebelah wajah Balin yang terlihat kaget bukan main. Keringat turun dari dahinya dan ia terdiam. Aruna hanya tersenyum kecil seperti menganggap lucu kejadian itu

"mampus lo lin, apa gue bilang," ucap Aruna

Balin tersenyum dengan wajah yang terlihat puas dan ia pun tertawa mengikuti Aruna. Bimo hanya melihat Balin dan Aruna tertawa sambil melihat pistolnya

"ok...sekarang gw akuin lo emang tangguh, gw seneng bisa kerja untuk orang kaya lo, tapi gw harap lo jangan terlalu banyak gaya, kalo bukan karena duit itu udah gw abisin lo mo!" ucap Balin
"abisin? sebelum lo abisin gw, orang-orang gw yang bakal abisin lo," ucap Bimo
"orang-orang? apa maksut lo? Ace itu udah abis! semua orang Ace udah mati dan masuk penjara!" ucap Balin

"Ace......," ucap Bimo sambil tertawa kecil, "Ace itu Arthur dan bukan gw, jadi kalo Ace mati gw gak mati," ucap Bimo melanjutkan pembicaraannya

"ok, sekarang ayo kita berangkat, sebentar lagi udah jam 12 malam dan kita harus mengatur strategi di sana," ucap Edo
"itu urusan gw," ucap Aruna
"ayo cabut!" ucap Balin
"target gw 10 kepala malam ini," ucap Leo

Bimo tersenyum licik sambil melihat orang suruhannya pergi untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Kekuatan Bimo begitu besar sampai membuat keempat pengkhianat kepolisian itu tunduk padanya. Uang dan jaringanlah yang membuat Bimo begitu disegani dan ia sekarang adalah buronan besar kepolisian dengan nama target Animus bertopeng putih. Nasib Irham dan Kapten Aryo pun semakin buruk ditambah dengan pengkhianatan Edo yang lebih mementingkan uang daripada integritas. Edo dan kawan-kawannya tercermin sebagai malaikat palsu yang berpura-pura baik di depan publik sebagai polisi teladan namun sebenarnya mereka tidak lebih dari seorang penjahat dan Bimo tercermin sebagai penguasa yang disegani oleh para malaikat palsu tersebut dan menyebut dirinya tuan

Senin, 07 Juni 2010

YES KELUAR!!

udah keluar lanjutan ceritanya setelah berabad-abad ga keluar

Jumat, 19 Maret 2010

The Author Is Dead

Yes, he is dead by his activities currently, maybe he will be back, don't know when, just pry for him....

Actually, he already make the next chapter but it still on progress

-GBU-

Selasa, 05 Januari 2010

38. The Repentant Fugitive

Pagi itu Alvo terlihat turun dari angkutan umum yang mengangkutnya sampai ke sebuah pedesaan sepi di pinggiran kota. Pohon-pohon jati menjulang tinggi banyak terdapat disekitarnya. Ia berjalan pelan menyusuri jalan setapak sambil menggendong ransel kecilnya. Sesekali Alvo memandang ke atas sambil melihat pohon-pohon jati yang menjulang tinggi. Langkah Alvo terlihat pasti untuk membawanya ke tempat tujuannya.

Tidak jauh di depan, Alvo melihat sebuah warung kecil yang terdapat beberapa orang disana. Di warung itu terlihat 4 orang petani yang sudah cukup berumur sedang santai sambil minum kopi sebelum berangkat ke ladangnya untuk bekerja. Alvo berjalan mendekati warung itu.

"permisi, saya mau tanya pak," ucap Alvo pelan
"ada apa dek?" ucap seorang kakek
"apa bapak tau tempat ini?" ucap Alvo sambil menunjukkan tulisan di sebuah kertas
"oooh....tidak jauh dari sini dek, itu di depan sudah kelihatan bangunannya, adek silahkan jalan mengikuti jalan setapak ini, nanti pasti adek sampai,"

"oh bangunan itu ya, ternyata sudah dekat ya, terima kasih pak," ucap Alvo

Para petani itu pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kepada Alvo. Alvo berjalan pergi meninggalkan warung itu untuk menuju tempat tujuannya.

Alvo terus berjalan menyusuri jalan setapak itu, terkadang ia melihat warga desa dan petani berjalan melawatinya sambil tersenyum ramah. Tidak lama Alvo pun sampai di tempat tujuannya. Ia melihat gerbang yang cukup besar ada di hadapannya. Ia melihat beberapa anak kecil berlarian dan menuju kearahnya. Alvo melihat kedua anak kecil itu. Ia hanya terdiam melihat kedua anak kecil yang memakai baju muslim dan peci berwarna putih itu.

Seorang laki-laki terlihat menghampiri Alvo yang tampak kebingungan berdiri sendirian di depan gerbang.

"Assalammuallaikum," ucap laki-laki itu

Alvo hanya terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa

"kalau ada orang yang mengucapkan salam, sebaiknya kita membalasnya, ucapkan waallaikummussalam, itu lebih baik," ucap laki-laki muda itu sambil tersenyum

"sori gw gak tahu cara jawabnya," ucap Alvo bingung

Laki-laki muda itu hanya tersenyum kepada Alvo, lalu ia melihat Alvo dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia menggelengkan kepalanya karena melihat Alvo yang seperti anak brandalan dengan baju kaosnya yang kumel dan jeans biru belelnya yang robek-robek.

"apa yang membawamu kemari anak muda?"
"gw ingin ketemu dengan Bapak Ahmad,"

Laki-laki muda itu tersenyum dan mengajak Alvo masuk ke dalam pesantren islam itu.

"mari ikut saya," ucap laki-laki itu

Sambil mengikuti laki-laki yang belum ia kenal namanya, Alvo melihat-lihat sekeliling pesantren milik Bapak Ahmad itu. Ia melihat beberapa anak kecil berpakaian muslim yang sedang duduk di taman sambil mendapatkan pengajaran dari gurunya, ada juga beberapa santri remaja yang sedang berjalan sambil membawa kitab Al Quran di tangannya. Semua orang disitu memakai baju muslim dan sangat sopan dan membuat Alvo malu karena memakai baju yang serba asal-asalan

Alvo pun masuk ke mushola dan melihat seorang laki-laki sedang duduk sendirian sambil membaca kitab. Laki-laki itu terlihat sangat khusyuk.

"itu adalah Bapak Ahmad, kepala Pesantren Al-Amin ini, kalau nama saya Hasan, saya adalah santri disini," ucap Hasan
"oh, nama gw Alvo,"

Hasan lalu mendekati Bapak Ahmad yang sedang duduk sendirian itu, Bapak Ahmad terlihat mengangguk dan menengok ke belakang. Bapak Ahmad adalah seorang yang sangat berwibawa. Para wajahnya sangat kharismatik dan bijaksana, ia juga memiliki janggut yang agak keputihan di dagunya. Sisi-sisi rambutnya yang tidak tertutup sorban berwarna agak putih karena beruban. Bapak Ahmad adalah muslim yang sangat beriman dan merupakan panutan di pesantren itu dan masyarakat sekitar.

"ternyata kamu datang juga nak Alvo," ucap Bapak Ahmad
"iya pak, setelah lama berpikir seharian, hati saya berkata saya harus datang ke tempat ini, entah kenapa saya melakukan ini,"
"coretan-coretan di wajahmu sudah hilang dan tindikan-tindikannya juga sudah kamu copot, itu tindakan yang baik nak Alvo, saya bangga kamu mau bertobat," ucap Bapak Ahmad

"saya ingin bertobat pak, sudah lama saya menganut ilmu hitam dan menyembah setan, saya ingin menjadi seorang muslim, saya ingin melakukan shalat dan saya ingin menjadi orang yang baik,"

Bapak Ahmad tersenyum begitu bahagia melihat orang seperti Alvo. Ia memegang pundak Alvo dan berbicara pelan kepadanya

"kamu sudah ada di jalan yang benar nak, semoga niatmu ini tulus dan kamu bisa bertobat menuju jalan yang benar,"
"apakah seseorang seperti saya ini bisa masuk islam dan menjadi seorang muslim pak?"
"tentu saja nak Alvo," ucap Pak Ahmad sambil tersenyum
"lalu apa yang harus saya lakukan?"
"mari kita belajar agama, kamu akan menjadi laki-laki yang sholeh sebentar lagi, sekarang mari ikut saya, kita harus mengganti bajumu itu dengan baju muslim dan peci agar lebih sopan,"

Alvo pun berjalan keluar dari mushola mengikuti Bapak Ahmad dan Hasan yang berjalan tepat di depannya.



Di tempat persembunyian Ghost

Terlihat Leonard sedang berjalan menuju kamar Alvo yang berada tidak jauh dari kamarnya. Ia membuka pintu kamar itu perlahan, tapi ternyata kamar itu kosong dan Alvo tidak ada di dalam. Leonard pun berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri Zen yang sedang santai bersama anak-anak Ghost yang lain

"lo liat Alvo gak? kok di kamarnya ga ada?" ucap Leonard
"wah gw mana tau, pagi-pagi gini tumben dia udah ga ada," ucap Zen
"ah apasi yang lo tahu, payah lo ah," ucap Leonard
"yee...belagu lo!" ucap Zen

Leonard terlihat sedikit kesal dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia mengambil botol anggur dan menuangkannya ke sebuah gelas kaca yang berukuran kecil, Ia langsung meneguk air anggur itu dengan cepat.

"eh lo liat nih berita!" ucap Red sambil melempar sebuah koran ke meja
"berita apaan si?" ucap Zen

Zen mengambil koran itu dan membaca sebuah berita yang tertulis di halaman koran. Berita itu membicarakan penangkapan dan pelumpuhan geng Ace dan Dead Hunter yang baru saja terjadi beberapa hari lalu.

"gila...kita harus ngapain nih?" ucap Zen
"gw mau kabur," ucap Red
"kabur? mau kemana lo?" ucap Zen
"kabur dari sini, gw gak mau ketangkep polisi, si Alvo aja udah kabur, lo gak takut apa!"
"tapi lo mau kemana?"
"kemana aja yang penting jauh dari jangkauan polisi!" dah ah gw cabut! semoga beruntung kawan!"

Red pun pergi begitu saja keluar dari tempat persembunyian Ghost itu.

"jadi gimana nih? si Red sama Alvo udah kabur! gw juga mau ikut kabur kalo gini!" ucap Zen
"gw juga mau cabut hari ini! tadi gw ke kamar Alvo mau ajak dia kabur, tapi dia gak ada!" ucap Leonard
"lo mau kemana? gw ikut dong! gw gak tahu mau kabur kemana!" ucap Zen
"itu urusan lo! gw gak mau tar lo nyusahin gw, pokoknya gw cabut sendirian," ucap Leonard

Leonard pun berjalan pergi ke luar dari ruangan. Ia menuju mobilnya yang parkir di depan rumah persembunyian Ghost

Zen terlihat kesal, satu per satu temannya pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Ia merenung sendirian dan teringat masih ada satu lagi temannya Gavin yang bisa diajak kabur bersama. Zen berlari ke kamar Gavin, ia membuka pintu kamar itu. Ternyata Gavin tidak ada di kamarnya, kamar itu kosong. Suara mesin motor terdengar cukup nyaring dari luar rumah persembunyian Ghost. Zen langsung berlari ke luar rumah ketika sadar itu adalah motor milik Gavin.

Zen terlihat keluar rumah dan melihat Gavin pergi dengan motornya untuk kabur dari tempat itu. Zen berteriak memanggil Gavin tetapi Gavin hanya mengacungkan jari tengahnya saja sambil mengendarai motor itu

"bangsat! anak setan! gw ditinggal lagi!" ucap Zen

Zen pun masuk ke dalam rumah dengan gerak tubuh yang agak lemas. Ia duduk di sofa ruang tengah sambil berpikir kemana ia harus pergi ketika kabur nanti. Ia merenung sendirian di rumah yang sepi itu dan tidak terasa ia pun tertidur di sofa.



Di jalanan terlihat mobil polisi Kapten Aryo bersama 3 mobil polisi lainnya berjalan dengan cepat menuju tempat persembunyian Ghost. Daerah tempat persembunyian Ghost itu sangat gersang dan banyak tanah-tanah kosong di sekitar. Hanya ada beberapa bangunan yang sudah tidak terpakai lagi berdiri tegak di atas tanah yang kering dan berdebu itu.

Mobil-mobil polisi itu berhenti tepat di depan rumah persembunyian Ghost, mereka keluar dari mobil sambil berjalan membentuk formasi mengepung. Kapten Aryo terlihat berbicara dengan nada pelan sambil menggerakkan tangannya untuk mengkomunikasikan pengepungan.

Di dalam rumah, Zen terbangun ketika handphonenya berbunyi nyaring, ia melihat layar handphonye dan ternyata Alvo menghubunginya

"ada apaan? dimana lo vo?" ucap Zen dengan nada suara masih terkantuk-kantuk
"gw di pesantren Zen, mendingan lo cepet kesini! kita bisa belajar agama Islam! kita bisa belajar jadi orang baik Zen!"

Zen tertawa tanda meledek Alvo

"pesantren? gak salah vo? sejak kapan lo jadi kaya gini? kenapa lo?"
"selama ini lo gak sadar kalo kita itu udah salah jalan! gw gak mau ikutan ritual-ritual kaya gitu terus! gw mau tobat!!! tobat!!!!"
"ah sakit lo vo, apa enaknya sih punya agama kaya gitu, mending kaya gini lah bisa bebas, dah cepet deh lo kesini! temenin gw di sini, anak-anak sama kakak lo udah cabut tadi!"

"cabut? kemana?"
"tau tuh, mau kabur dari polisi!"
"lo gak kabur juga?"
"gak ada yang ajak gw, pada kabur sendiri-sendiri, gak asik banget,"

Kapten Aryo terlihat membidik Zen dari kaca jendela rumah. Kapten Aryo menggunakan senapan bidik yang cukup besar. Polisi yang lain pun masuk melalui pintu depan dan belakang dan mengepung Zen yang berada di ruang tengah

"jangan bergerak! atau saya tembak!" ucap salah satu polisi

Zen kaget ketika melihat para polisi yang masuk dengan cepat ke dalam rumah dan mengepungnya. Ia mengambil pistolnya dan membidik salah satu polisi.

"jatuhkan senjata itu! cepat!"

Zen hanya terdiam dan langsung menembakkan senjatanya ke salah satu polisi. Polisi itu tertembak di dadanya dan terpental jatuh. Para polisi yang lain pun langsung menembak Zen bertubi-tubi. Namun, Zen tidak bergeming dan ia hanya tersenyum. Tidak ada darah di tubuhnya. Para polisi itu tidak terlihat kaget, mereka telah mengetahui kekuatan Alvo ini dan mereka pun telah mengetahui kelemahannya.

Kapten Aryo membidik kalung yang dipakai Zen di lehernya, lalu ia menembak kalung itu dengan senapannya. Bunyi tembakan keras terdengar di rumah itu, Kapten Aryo telah menghancurkan kalung jimat milik Zen yang merupakan sumber kekuatan hitamnya. Zen kaget bukan main, ia memegangi lehernya dan meringis kesakitan. Zen pun berlari untuk keluar dari rumah itu sambil memegangi lehernya yang terluka. Semua polisi itu menembaknya tanpan ampun sampai membuat Zen berteriak dan mengaduh kesakitan.

Zen berjalan tertatih-tatih, ia sudah sekarat. Ia tidak percaya bahwa para polisi tahu kelemahannya. Zen terluka sangat parah, sebentar lagi ia pun akan mati, namun ia berjalan pelan mendekati sebuah laci yang berada di pojok ruangan. Ia mengambil sesuatu yang ada di dalam laci itu. Para polisi dan Kapten Aryo memperhatikan Zen yang mengambil sesuatu itu.

Zen mengambil sebuah pistol di dalam laci itu. Zen mengarahkan tangannya ke depan dan siap menembak para polisi di depannya. Tangan kanan Zen terlihat gemetar sambil memegang pistol dan tangan kirinya memegang dadanya yang tertembak. Zen terlihat semakin lemas dan terjatuh ke lantai dan tidak sempat menembak para polisi itu. Darah mengalir dari tubuh Zen memenuhi lantai berwarna putih itu. Zen telah tewas pagi itu

Para polisi berjalan mendekati mayat Zen. Para polisi itu mengamankan mayat Zen dan menelusuri tempat persembunyian Ghost itu.

"satu telah lumpuh, bagaimana dengan yang lain?" ucap Kapten Aryo
"tim lain sedang melakukan pencarian Kapten!" ucap perwira Edo
"bagus! ayo kita bergerak!" ucap Kapten Aryo

Kapten Aryo pun berlari keluar dari markas Ghost diikuti oleh perwira Edo. Sementara polisi yang lain sibuk mengamankan markas Ghost itu



Matahari siang itu terasa begitu terik, panas begitu terasa diseluruh Kota Jakarta siang hari itu. Ditengah-tengah siang yang panas itu, sering terdengar suara sirine mobil yang sibuk mencari keberadaan anggota geng yang bernama Ghost ini. Ribut suara radio polisi yang terus saling mengabarkan situasi begitu jelas terdengar dari mobil-mobil polisi itu.



Siang itu, di suatu tempat terdengar suara langkah kaki seorang laki-laki yang berjalan seakan ragu-ragu. Laki-laki itu berjalan dengan penuh perasaan bimbang. Laki-laki itu berjalan pelan menuju rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu berpagar kayu yang setinggi pinggang laki-laki dewasa.

Red membuka pagar kayu itu perlahan. Ia berjalan masuk untuk mengetuk pintu kayu rumah itu. Dengan penuh keraguan ia mencoba untuk mengetuk pintu itu, namun sesaat ia mengurungkan niatnya dan berbalik badan untuk pergi menuju mobilnya. Setelah berjalan beberapa langkah menjauhi pintu rumah, Red menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berjalan dengan penuh keyakinan menuju pintu rumah itu.

Ia mengetuk pintu itu perlahan dan menunggu seseorang membukakan pintu. Ia terus menunggu di depan rumah itu sambil mengetuk pintu. Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang bertanya siapa yang datang. Lalu, anak perempuan lucu yang berumur sekitar 6 tahun itu membukakan pintu dan melihat Red dengan ekspresi wajah yang sangat bingung

"om...om...ciapa?" ucap anak perempuan itu penuh keluguan
"ibumu ada nak?" ucap Red
"ibu? ada om...sebental ya," ucap anak itu

Red hanya terdiam sambil tersenyum senang melihat anaknya sudah tumbuh dewasa setelah ia lama pergi meninggalkan isterinya.

Tidak lama, seorang perempuan berambut panjang keluar dan melihat Red dengan perasaan penuh kesal yang mendalam. Wajah perempuan itu terpancar rasa kebencian atas suatu peristiwa di masa lalu. Perempuan itu menyuruh anaknya untuk masuk ke dalam rumah.

"apa kabar na?" ucap Red
"ngapain kamu datang kesini? bukannya kamu lebih milih jadi penjahat bersama orang-orang gila itu dulu! pergi kamu!! pergi!!" ucap Anna begitu keras

"tunggu dulu na! aku udah keluar dari geng itu! aku sekarang mau membina keluarga kita dari awal! aku mau kehidupan yang lebih baik na! maafin aku! aku mohon!"
"maaf?! setelah kamu menghamili aku terus kamu pergi gitu aja ninggalin aku dan Kinan! kamu mau minta maaf!? dasar laki-laki gak tahu diri!!!"

"maafin aku na....beri aku kesempatan! aku mohon!" ucap Red

Red memegangi tubuh isterinya Anna sambil meyakinkannya bahwa ia ingin berubah dan membina keluarga yang baik. Red yang begitu dingin itu ingin menjadi orang yang lebih baik dan mencintai keluarganya. Red sadar bahwa selama ini ia telah melakukan kesalahan karena mencampakkan Anna dan anaknya Kinan.

"aku gak bisa, sudah 6 tahun aku hidup berdua saja dengan Kinan, tiba-tiba kamu datang dan minta maaf, gak semudah itu Red," ucap Anna sambil meneteskan air mata karena ingat memori masa lalu

Red hanya terdiam dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Harapannya untuk membina keluarga dari awal untuk menyayangi isteri dan anaknya telah sirna. Red terlihat begitu kecewa. Ia melepas cincin di tangannya dan memberikannya kepada isterinya

"apa ini?" ucap Anna
"itu jimatku, kamu pegang ya, aku mau pergi jauh dari sini, itu kenang-kenangan dari aku untuk kamu, mungkin kita gak akan ketemu lagi na,"
"kamu mau kemana Red?"
"aku gak tahu, yang jelas jauh dari sini, aku akan pergi kemana pun dan datang lagi kesini nanti suatu saat kalau kamu dan Kinan sudah mau menerimaku,"

Anna hanya terdiam

"oh iya, ini aku punya hadiah untuk Kinan," ucap Red

Red memberikan sebuah boneka perempuan yang berukuran kecil kepada Anna. Kinan memanggil mamanya dan berjalan mendekati Anna sambil mengambil boneka pemberian ayahnya

"selamat ulang tahun ya Kinan," ucap Red
"telimakasih om......mah.....om ini siapa?" ucap Kinan lugu
"bukan siapa-siapa nak," ucap Anna

Red tersenyum dan mengusap kepala Kinan, lalu ia pun berjalan pelan menuju mobilnya. Setelah berjalan beberapa langkah, ia menengok kebelakang sambil melambaikan tangan. Anna hanya tersenyum kecil dengan wajahnya yang terlihat sedih.

Red berjalan menuju mobilnya, namun ia tersentak kaget ketika bunyi tembakan terdengar keras. Polisi telah mengepung sekitar rumah itu.

"jangan bergerak! anda sudah kami kepung! cepat menyerahlah dan angkat tangan anda!"

Red mengangkat tangannya dan menyerah. Para polisi memborgol tangan Red dan akan membawanya ke kantor polisi. Anna terus berusaha menahan para polisi itu agar tidak membawa suaminya. Ia menangis histeris sambil berteriak untuk mencegah suaminya dibawa polisi. Walaupun Anna membenci Red, tapi masih ada sedikit rasa cinta terhadap suaminya itu

Usaha Anna sia-sia saja, Red telah diborgol dan dipaksa masuk ke dalam mobil polisi. Anna menjerit sangat keras, ia berlari menuju mobil polisi yang akan membawa pergi suaminya dan ayah dari anaknya.

Melihat Anna menangis, Red langsung berontak dan menendang polisi yang memegangnya dan langsung berlari ke arah Anna. Seorang polisi menembak kaki Red dan membuat Red terjatuh tersungkur. Anna langsung memeluk Red sebelum ia terjatuh ke tanah. Anna melihat wajah Red yang mengaduh kesakitan karena tertembak.

Anna berkata maaf berulang-ulang dan dia bersedia menerima Red kembali menjadi suaminya, Red tersenyum senang dan memeluk Anna dengan erat tetapi seorang polisi langsung menarik Red dari pelukannya dan memaksa Red agar masuk ke mobil polisi.

Anna tidak diam saja, ia menarik tangan Red dan tidak mau melepasnya. Polisi itu sudah berteriak kencang agar Anna melepas tangan Red. Namun, Anna tidak menggubrisnya, ia malah mendorong polisi itu agar melepaskan Red. Polisi itu pun naik pitam, ia mendorong Anna sampai jatuh terjerembab

Red kaget dan memanggil nama Anna, ia memukul polisi yang mendorong Anna dan mengambil pistol di celana polisi itu. Red langsung menembak polisi itu sampai polisi itu terjatuh dan sekarat. Red yang bebas langsung menghampiri Anna dan membantunya berdiri. Ia mengusap rambut Anna dan langsung mengecupnya.

Anna tersenyum sambil melihat wajah Red, lalu tidak lama terdengar suara tembakan keras sebanyak 2 kali siang itu. Wajah Red berubah drastis dan terlihat kesakitan. Mulut Red mengeluarkan darah cukup banyak. Anna mengusap darah yang ada di punggung Red dan melihat darah merah kental itu di tangannya

Anna memanggil Red pelan, ia tahu suaminya telah tertembak. Red hanya tersenyum sambil berpesan agar Anna menjaga anaknya dengan baik. Ia berpesan agar anaknya harus bersekolah dengan baik dan jangan menjadi anak yang tidak berguna seperti bapaknya. Red juga minta maaf kepada Anna karena kesalahannya. Kali ini Red tidak kebal karena jimat yang biasa ia pakai telah ia berikan tadi kepada Anna. Red pun mendekati ajalnya siang itu

Tidak lama setelah ia mengucapkan maaf, Red pun meninggal dipelukkan Anna. Anna menangis pelan sambil memeluk suaminya dengan erat. Sedangkan Kinan memeluk kedua orang tuanya sambil menangis sambil mengucapkan kata ayah dan ibu.




Sementara itu jauh di suatu tempat yang sepi, Leonard sedang terlihat panik dan bersembunyi dari kejaran polisi. Ia mengintip dari balik tembok gang sempit untuk melihat keadaan sekitar. Ia sangat ketakutan siang itu, keringat bercucuran membasahi kaos hitamnya. Nafas Leonard terdengar begitu menggebu karena kelelahan. Leonard menyembunyikan dirinya di balik tembok gang setelah melihat beberapa orang polisi menuju ke arahnya

"kemana larinya tuh orang?" ucap seorang polisi
"kayanya disini kosong," ucap polisi lain
"iya, ayo balik ke mobil,"

Ketiga polisi itu kembali ke mobil mereka dan menjauhi Leonard yang sedang bersembunyi di balik tembok gang sempit itu

"hampir aja, kalo gak gw bisa ditangkep.......kenapa dia bisa tahu jimat gw......mereka udah nembak jimat gw sampe hancur tadi, gw udah ga kebal lagi, kalo gini gw bisa mati, apa yang harus gw lakukan sekarang," ucap Leonard dalam hati

Tiba-tiba Leonard kaget karena handphone di saku celananya bergetar, ia mengangkat telepon itu.

"halo, lo dimana vo?" ucap Leonard
"gw di pesantren, lo kenapa gw ajak tobat ga mau? ini jalan yang benar nard, lebih baik lo ikutin jalan gw,"

Leonard tertawa kecil seperti meledek

"apa? tobat? apa gunanya agama kaya gitu, gw ga percaya tuhan vo,"
"terus lo mau kemana?"
"gw ga tau, gw mau kabur ke luar kota, gw butuh duit, cepet lo temuin gw, kasih gw duit terus gw mau cabut dari kota sial ini," ucap Leonard
"duit? ok kalo gitu,"

Leonard menutup teleponnya setelah mendengar tempat pertemuan yang dijanjikan Alvo adiknya. Ia bergegas menuju tempat itu sambil berhati-hati dan melihat situasi disekitarnya



Setelah beberapa lama, Leonard terlihat turun dari angkutan umum dan sudah sampai di tempat dimana ia akan bertemu adiknya Alvo. Leonard berjalan dengan pelan dan geraknya terlihat sangat waspada. Ia menundukkan wajahnya dan bersikap seperti orang biasa. Setelah berjalan cukup lama menyusuri jalanan sempit di pinggiran kota, ia sampai di suatu tempat yang sepi yang biasa digunakan para pemulung untuk menginap. Leonard menyalakan rokoknya sambil menunggu Alvo, ia terlihat tidak tenang.

Tidak lama, Alvo pun datang dan melihat Leonard sedang berdiri sambil bersandar di tembok jalan. Leonard begitu kaget melihat penampilan Alvo yang berubah drastis, ia mematikan rokoknya dan membuangnya ke jalan.

"ga salah lo vo? kenapa lo jadi kaya gini?" ucap Leonard terkejut
"kenapa? gw biasa-biasa aja," ucap Alvo

Leonard melihat Alvo dari ujung kaki sampai ujung rambut, Alvo memakai baju muslim putih yang bersih dengan peci hitam yang menutup rambutnya. Pancaran aura Alvo begitu cerah dan memancar keluar sampai membuat Leonard terheran-heran dengan perubahan drastis adiknya itu.

"gila, lo bener-bener gila vo, apa-apaan lo!" ucap Leonard
"gw mau tobat, gw udah sadar sekarang, lo semestinya ikutin jalan gw nard, lo gak bakal nyesel karena ini jalan yang benar,"

Leonard tertawa meledek Alvo

"culun! lo tuh culun!! gw kasian ngeliat lo vo," ucap Leonard

Alvo hanya terdiam melihat kakaknya meledeknya

"dah cepet mana duitnya, gw mau kabur," ucap Leonard

Alvo memberikan tas kecil berwarna hitam kepada Leonard, lalu Leonard melihat isi tas itu yang penuh dengan uang lembar lima puluh ribuan. Leonard tersenyum, lalu ia mengucap salam perpisahan kepada adiknya

"gw cabut dulu, awas lo sampai ngelaporin gw! gw abisin lo!"
"iya tenang aja, gw mau shalat di mesjid, udah adzan tuh," ucap Alvo
"lo gila ye? agama sampah!!" ucap Leonard sambil meludah

Leonard pun pergi menjauhi Alvo yang terdiam sambil menggelengkan kepala. Alvo berjalan menuju mesjid untuk menjalankan shalat Zuhur siang itu. Para jamaah yang lain pun telihat banyak berjalan menuju mesjid.


Sementara itu, terlihat Leonard berjalan dengan cepat melewati jalanan kecil yang sepi siang itu. Ia terlihat begitu terburu-buru untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Leonard pun semakin hilang di kejauhan dan tak terlihat lagi. Sementara teman-teman Ghost yang lainnya telah hilang entah pergi kemana. Ada kemungkinan mereka berhasil kabur dari kejaran polisi atau bisa saja mereka telah tertangkap bahkan tewas ditangan para polisi.


Malam itu di rumah kakek Bimo

Hari itu cepat berlalu dan malam pun tiba. Karin terlihat pucat dan begitu lemas, ia terbaring tak berdaya di sofa ruang tamu. Bimo terlihat sedang memberikan segelas air kepada Karin. Karin pun meminum air itu disertai dengan obat penurun panas. Belum sempat menelan obat itu, Karin tiba-tiba pingsan dan menjatuhkan obat dan gelas ke lantai hingga pecah. Bimo pun kaget ketika melihat Karin pingsan dan segera menggendong adiknya itu. Ia berjalan cepat menuju mobilnya dan membawa Karin ke rumah sakit.


Jauh dari tempat Bimo berada, Leonard sedang merokok di bedeng kecil di daerah Jawa Tengah Semarang. Ia pergi menggunakan bus tadi sore dan telah sampi di kota ini untuk lari dari kejaran polisi. Ia telah kehilangan para teman-temannya dan adiknya yang memilih untuk bertobat dan masuk pesantren. Leonard telah menghabiskan banyak rokok dan ampas rokok terlihat banyak berserakan di lantai dan kasur. Leonard mengira telah lolos dari kejaran polisi karena telah kabur ke daerah yang terpencil. Di malam yang sepi itu terdengar langkah cepat yang berasal dari sekeliling bedeng yang ditempati Leonard.

Ternyata Leonard telah dibuntuti dari terminal bus tadi sore oleh para intel dan ia tidak pernah tahu akan hal itu. Sekarang para polisi intel ini pun telah mengepung bedeng yang ditempati Leonard dan ia masih belum mengetahui hal ini. Pintu kayu bedeng kecil itu pun tiba-tiba terbuka dengan keras karena ditendang oleh seorang polisi yang langsung mengarahkan pistol ke Leonard yang terkejut di atas kasur.

Para polisi itu bergerak masuk dengan cepat dan berteriak kencang memecah keheningan malam itu. Leonard hanya bisa pasrah, ia mengangkat tangannya dan membiarkan dirinya diborgol polisi. Ia tahu jimat saktinya telah hancur ditembak polisi tadi siang dan ia tidak kebal lagi seperti biasanya, daripada mati ia memilih untuk dibawa polisi ke penjara. Malam itu Leonard tertangkap sementara adiknya yang bertobat masih tentram berada di pesantren. Seandainya Leonard mengikuti apa yang dikatakan adiknya dan bertobat, mungkin saja ia tidak akan bernasib seperti ini.